KUHP Akan Segera Dibahas DPR, Salah Satunya Tentang Penghinaan Kepada Pemerintah yang Sah

20 Juni 2022, 20:16 WIB
Bulan depan rencananya revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disahkan. /Twitter @AksiLangsung

 

Media Tulungagung – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) rencananya akan membahas dan mengesahkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan dilaksanakan sekitar bulan Juli 2022.

Salah satu agenda utama penting yang akan menjadi pembahasan adalah Pasal penghinaan terhadap pemerintahan yang sah.

Tentu sejak kemunculan isu tersebut sampai hari ini pasal tersebut dianggap sebagian masyarakat Indonesia sebagai sesuatu yang kontroversi di tengah iklim demokrasi Indonesia.

Baca Juga: Update Ranking BWF Sektor Ganda Campuran Pasca Indonesia Open 2022, Popor Kembali Geser, China Dipuncak

Dilansir Tim Media Tulungagung dari Pikiran Rakyat, Senin, 20 Juni 2022, pada cuplikan Pasal 240 tersebut berbunyi seperti berikut:

“Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah dan berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat maka dapat dipidana dengan hukuman penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak sesuai kategori IV".

Keonaran yang tercantum dalam Pasal 240 itu dijelaskan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan sekelompok orang (anarkis) yang menimbulkan keributan, kerusuhan, kekacauan, dan huru-hara.

Baca Juga: Update Ranking BWF Sektor Ganda Putri Pasca Indonesia Open 2022, Peringkat Greysia/Apriyani Belum Dihapus

Maka, hukuman bagi penghina pemerintah akan dinaikkan jika tindakan tersebut dilakukan melalui media sosial (medsos).

"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V".

Kemudian, Pasal 353 ayat 1 berbunyi, ”Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.”

Baca Juga: Update Ranking BWF Sektor Tunggal Putri Pasca Indonesia Open 2022, Gregoria Mariska Tunjung Konsisten Turun

Kekuasaan umum atau lembaga negara dalam ketentuan itu antara lain Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, polisi, jaksa, gubernur, atau bupati/wali kota.

Mantan anggota Komisi Yudisial (KY) Taufiqqurahman Syahuri dengan tegas menyatakan, ancaman 18 bulan penjara bagi penghina DPR, polisi, jaksa, hingga gubernur/wali kota, harus dihapus.

Sebab, batasan antara kritik dan penghinaan sangat tipis. Kondisi itu seperti mengingatkan kita pada pasal karet.

Baca Juga: Update Ranking BWF Sektor Tunggal Putra Pasca Indonesia Open 2022, Vito dan Tommy Sugiarto Turun Peringkat

Pada masa Orde Baru kita mengenal Pasal subversi yang biasanya menjerat orang yang antipemerintah atau mengancam eksistensi kekuasaan. Tidak jarang aktivis yang kritis pada aturan penguasa dilibas dengan pasal itu.

Pasal karet sudah ada sejak zaman Hindia Belanda yang memuat Buku II Kejahatan Bab II tentang Kejahatan-kejahatan terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden dan merupakan adaptasi dari peraturan pemerintah Belanda yang melarang warganya mencemooh Ratu Belanda.

Dalam bahasa Belanda, Pasal penghinaan tersebut disebut sebagai haatzaai artikelen (ujaran kebencian).

Baca Juga: Update Ranking BWF Sektor Ganda Putra Pasca Indonesia Open 2022, The Minnions Peringkat 1, Fajri Turun Lagi

Meski demikian, pasal itu sudah dihapuskan sejak 4 Desember 2006 oleh Mahkamah Konstitusi. Taufiqqurahman meminta agar pasal ini dihapus saja.

Tidak ada Pasal itu saja, banyak warga biasa yang mengkritik penguasa dipolisikan.

“Sudahlah penguasa atau lembaga enggak perlu minta dihormati. Bukankah pejabat sudah dapat kompensasi gaji dan fasilitas. Jika dikritik ya wajar. Kritik yang halus, kririk kasar ,atau penghinaan itu batasanya relatif," kata Taufiq.

Baca Juga: Jadwal BWF World Tour, Daftar Pemain Indonesia yang Akan Tampil di Malaysia Open 2022 Juni-Juli

Kata orangtua kita dulu, kalau jadi pejabat itu harus kandel ceuli atau tebal telinga. Artinya, tidak ambil pusing atau acuh (terhadap makian, sindiran, dan sebagainya); tidak mau mendengar kata orang lain.

Selama berjalan di rel yang benar, bekerja sesuai dengan aturan yang berlaku. Jawab kriti bahkan penghinaan dengan kerja dan prestasi.

Selain itu, dalam demokrasi ada kredo vox populi vox dei, suara rakyat suara Tuhan. Ketika rakyat sudah bersuara, mesti diberi nilai tertinggi, terkoneksi misi ketuhanan.

Baca Juga: Pembunuhan Makin Melonjak, Pria Palestina Tewas Di Tangan Militer Israel Di Dekat Tembok Pemisah

Di dalamnya ada sakralisasi demokrasi yang tidak boleh diabaikan dan diselewengkan. Bagaimana jadinya jika suara Tuhan justru membuahkan hukuman penjara.

Kata demokrasi bermakna kekuasaan atau kedaulatan di tangan rakyat. Rakyat adalah kekuasaan tertinggi. Namun, suara rakyat kok malah dibungkam dengan pembahasan Pasal penghinaan terhadap pemerintah?***(Tajuk Rencana/Pikiran Rakyat)

Artikel ini pernah tayang dengan judul ‘Pasal di KUHP Soal Menghina Pemerintah Disahkan Juli 2022, Jangan Bungkam Suara Rakyat’.

Editor: Azizurrochim

Sumber: Pikiran Rakyat

Tags

Terkini

Terpopuler