MEDIA TULUNGAGUNG - Dilaporkan, pemerintah Iran memanggil duta besar Inggris dan Norwegia karena dianggap ikut campur dengan isu dalam negeri.
Menurut pemerintah Iran yang diwakili Kemenlu, dua negara ini telah aktif memberitakan di media soal kerusuhan nasional yang disebabkan meninggalnya seorang wanita di tangan polisi moral.
Iran menganggap ini merupakan salah satu bentuk permusuhan yang ditampakkan oleh kedua negara ini.
Dubes Norwegia juga dipanggil untuk menjelaskan "sikap ikut campur" dari ketua parlemen negara itu, yang telah menyatakan dukungannya kepada para pengunjuk rasa di Twitter.
Demonstrasi yang pecah lebih dari seminggu yang lalu di pemakaman wanita Kurdi berusia 22 tahun, Mahsa Amini, telah menyebar ke seluruh negeri dan berubah menjadi gelombang protes terbesar dalam beberapa tahun di Iran.
Televisi pemerintah Iran mengatakan 41 orang telah tewas.
Pihak berwenang membatasi layanan internet dan seluler untuk mencegah beredarnya rekaman protes dan tanggapan oleh pasukan keamanan, kata para aktivis, dikutip dari ANTARA.
Presiden Ebrahim Raisi mengatakan Iran menjamin kebebasan berekspresi.
Dia mengatakan telah memerintahkan penyelidikan atas kematian dalam penahanan Amini, yang ditangkap oleh polisi yang memberlakukan pembatasan republik Islam tersebut pada cara berpakaian perempuan.
Raisi juga mengatakan bahwa "tindakan kekacauan" tidak dapat diterima dan bahwa Iran harus menangani kerusuhan dengan tegas.
Dalam Sidang Majelis Umum ke-77 Perserikatan Bangsa-Bangsa, dia mengatakan kasus kematian Amini yang diliput luas adalah "standar ganda", jika merujuk pada kematian di tahanan polisi AS.
Kematian Amini telah menyalakan kembali kemarahan di Iran atas masalah-masalah termasuk pembatasan kebebasan pribadi, aturan ketat berpakaian untuk perempuan, dan ekonomi yang terguncang akibat sanksi.
Perempuan telah memainkan peran penting dalam protes. Mereka melambaikan dan membakar cadar mereka.
Beberapa perempuan telah secara terbuka memotong rambut mereka ketika orang banyak yang marah menyerukan kejatuhan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei.
Protes tersebut adalah yang terbesar yang melanda Iran sejak demonstrasi mengenai harga bahan bakar pada 2019, ketika Reuters melaporkan 1.500 orang tewas dalam tindakan keras terhadap pengunjuk rasa.***