MEDIA TULUNGAGUNG - Kerumunan suporter di Stadion Kanjuruhanpecah setelah laga Arema melawan Persebaya skor akhir menunjukkan 3-2 untuk keunggulan tim tamu pendukung.
Hingga pada akhirnya kericuhan terjadi, aparat menembakkan gas air mata yang membuat kondisi makin menjadi dan sebagian besar suporter sesak nafas.
Arema pun turun ke lapangan, banyak yang menyebut aksi mereka sebagai bentuk kekecewaan dalam sepak bola ini sering terjadi meski dinilai problematik.
Seperti dikutip MEDIA TULUNGAGUNG dari narasi Newsroom, dalam sejarah panjang sepak bola dunia, pada 1977 pendukung Skotlandia tumpah di lapangan Wembley setelah kalahkan Inggris.
Empat tahun silam, 2018, Fulham, klub medioker Inggris lolos ke final play off divisi 1.
Yang agak terbaru pendukung Everton merayakan keberhasilannya bertahta di kasta utama Liga Inggris.
Keberadaan peach Invasion dianggap mewakili ekspresi paling liar dalam sepak bola. Entah mitu Merayakan kemenangan atau kekecewaan tapi mengapa di Stadion Kanjuruhan berujung tragedi.
Tidak lama setelah turun ke lapangan, masa suporter Arema dipukul mundur oleh aparat.
Kita bisa melihat agresivitas aparat melakukan pengamanan ini belum seberapa.
Tindakan pengamanan disusul dengan pukulan lain kepada masa tembakan gas air mata seperti yang tersebar di berbagai media sosial.
Tembakan itu membuat suporter panik dan mencari tempat paling aman untuk menghindar.
Situasi pun jadi keos, ini yang terjadi di dekat pintu keluar Stadion Kanjuruhan saat polisi luncurkan gas air mata.
Suporter dengan jumlah yang tidak sedikit berhimpitan dalam ruangan yang sempit.
Dari sini tragedi berujung tewasnya 125 orang, tembakan gas air mata membuat mereka sesak napas berdesak-desakan hingga terinjak-injak.
Pada tahun 1964 kerusuhan pecah di Stadion Nasional Peru bertepatan dengan laga kualifikasi Olimpiade antara Peru dan Argentina.
Kekecewaaan masa suporter memasuki Stadion dan memprotes yang kemudian direspons dengan aksi represif aparat.
Sebanyak lebih dari 300 orang tewas dan Orlando Pirates merupakan dua klub dengan rivalitas tinggi di Afrika Selatan.
Pada April 2001 mereka bertanding di All Sport Chinese, pertandingan ini berakhir dengan duka setelah 47 orang tewas di stadion.
Sebulan kemudian bergeser ke Gana, insiden serupa terulang kali ini lebih tragis sebanyak 126 orang tewas usai laga Hearts of Oak dan Asante Kotoko dihelat.
Tiga insiden tadi punya benang merah penyebab yang sama dipicu tembakan gas air mata oleh aparat.
Di Peruu mayoritas korban tewas karena sesak nafas setelah gas air mata berhamburan.
Di Johanesburg juga demikian, juga tidak berbeda alias masa panik dan kesusahan dapat oksigen setelah gas air mata keluar.
FIFA sendiri sudah melarang keras penggunaan gas air mata di stadion dalam rangka penanggulangan kerusuhan ini.
Tercatat dalam pasal 19 poin B pasal 19 tidak mengatur itu saja. Ditegaskan bahwa seluruh aparat mesti tampil low profile
Artinya tidak memakai perlengkapan yang agresif seperti tameng masker hingga alat pukul.
Ketentuan itu tidak terlihat saat insiden Stadion Kanjuruhan kemarin.
Aparat polisi dan TNI begitu agresif menghalau balik masa suporter Arema.
Sebagai anggota FIFA ketentuan-ketentuan tadi mestinya diadopsi Indonesia termasuk larangan penggunaan gas air mata.
Tapi dari penelusuran yang ada, lewat beberapa beleid seperti yang dirilis operator Liga 1 tidak tercantum secara spesifik soal larangan gas air mata ini.
Aturan hanya sebut tuan rumah wajib membuat security plan yang berisi pernyataan dari seluruh pihak terkait.
Lantas dari mana penerapan gas air mata ini muncul?
Polisi berpedoman pada aturan internal soal penggunaan kekuatan persoalannya dalam aturan itu penggunaan gas air mata adalah tahap kelima diantara total enam tahapan jadi gas air mata yang tidak bisa sekonyong-konyong dikeluarkan.
Baca Juga: Ferdy Sambo Pasrah dengan Nasibnya: Saya Lakukan Ini Karena Kecintaan Saya Kepada Istri Saya
Pertanyaannya sudahkah aparat menerapkan empat tahapan sebelum penggunaan gas air
mata?
Dalam perspektif lebih luas lagi apakah ada sinkronisasi aturan yang melibatkan pemangku kebijakan seperti FIFA, PSSI, operator Liga dan kepolisian kalau sampai lebih 100 orang tewas.
Akibat peristiwa Stadion Kanjuruhan dua pertanyaan tadi belum punya satu jawabanpun.***