Selain Soerie Santoso, ada pemuda Indonesia lain yang pernah menerima pelatihan artileri, mereka adalah Oerip Soemohardjo, Memet Rahman Ali Soewardi, R.M. Pratikno Suryosumarno, Tjhwa Siong Pik, J. Minggu, Djoko Prijono, Giroth Wuntu, Sadikin, Abdullah, dan Rudy Pirngadi.
Asal-usul munculnya persenjataan artileri di Indonesia tidak bisa dipastikan dengan tepat.
Namun menurut buku Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 jilid 2: Jaringan Perdagangan Global (1999, hlm.255), Nusantara baru mengenal artileri dari negara Cina yang sudah menggunakan meriam sejak abad ke-13.
Penggunaan senjata artileri di Indonesia terus berlanjut hingga masa penjajahan Jepang. Namun saat Jepang menyerahkan diri pada 16 Agustus 1945, para pemuda Indonesia langsung mengambil alih persenjataan artileri milik Jepang.
Salah satu persenjataan yang dirampas adalah meriam, namun para pemuda Surabaya tidak tahu cara menggunakan persenjataan berat.
Kapten Suwardi yang paham tentang meriam akhirnya membentuk Pasukan Meriam dan mengadakan kursus cepat untuk para pemuda di Surabaya.
Di Surabaya ada juga J. Minggu, seorang pemuda yang dilatih menjadi artileris untuk KNIL. Ia turut mengetuai jalannya serangan yang menargetkan pasukan Inggris.
Letnan Jendral Oerip Soemoohardjo meresmikan Markas Artileri pada tanggal 4 Desember 1945, menurut laman Pusat Pendidikan Artileri Medan.